Senin, 22 Maret 2010

Cerpen...,Ulang tahun yang terlupakan...?

Ulang tahun yang terlupakan...?


“Ulang tahun yang keberapapun, enggak perlu dirayakan. Yang terpenting, kamu semakin memperbanyak ibadah dan rasa syukur kamu pada Allah, Mama rasa itu sudah cukup!”Malam ini kulihat Mama sedang asik membaca sebuah majalah. Perlahan aku dekati Mama. Aku ingin mengutarakan isi hatiku dan aku rasa ini adalah saat yang tepat.“Ma, Ticha boleh bilang sesuatu?” tanyaku, saat aku sudah berada di samping Mama.“Mau bilang apa?” Mama balik bertanya, tanpa mengalihkan pandangannya dari majalah itu.“Minggu depan kan Ticha ulang tahun, boleh enggak dirayain? Enggak usah meriah juga enggak apa-apa. Ticha hanya ingin mengundang teman-teman dekat, untuk makan bersama.”“Mama rasa itu nggak perlu, Ticha.”“Kenapa, Ma? Tahun ini kan usia Ticha genap tujuh belas. Semua teman-teman Ticha pasti merayakan ulang tahun yang ketujuh belas, walaupun kecil-kecilan. Masa Ticha nggak sih, Ma?” aku tetap bersikukuh.Mama menatapku lekat-lekat kemudian berkata, “Dengar Mama, Ticha.

Ulang tahun yang keberapapun, enggak perlu dirayakan. Yang terpenting kamu semakin memperbanyak ibadah dan rasa syukur kamu pada Allah, Mama rasa itu sudah cukup!”“Tapi, ma....”“Kartika!”Kali ini Mama benar-benar marah. Aku tahu Mama marah, karena beliau selalu menyebut nama lengkapku saat Mama marah. Kalau sudah begini, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi.Aku kemudian segera berlari ke kamarku. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak mengerti dengan sikap mama yang tidak mengijinkan ulang tahunku dirayakan. Ini bukan yang pertama kalinya Mama menolak merayakan ulang tahunku.Setiap tahun aku memintanya, tapi Mama tak pernah mengabulkan permintaanku. Jangankan memberi aku hadiah, memberi ucapan selamat saja tidak! Mama seolah menganggap aku tidak mempunyai hari ulang tahun. Aku hanya punya tanggal lahir yang tercatat dalam akta kelahiran!


Lain halnya dengan ulang tahun adikku. Mama selalu memberinya hadiah. Paling tidak sebuah ciuman. Dan Mama selalu mengingatkan aku jauh-jauh hari.“Ticha, minggu depan adikmu ulang tahun, jangan lupa belikan kado, ya. Kalau kamu tidak punya uang, pakai saja uang Mama,” begitulah yang selalu Mama katakan untuk mengingatkan aku, akan hari ulang tahun adikku.Tadinya aku mengira, Mama tidak memberiku hadiah karena sedang tidak punya uang. Tapi kenyataannya, dengan pendapatan bulanan papa tiriku yang cukup besar, hidup kami berkecukupan, kok. Bahkan Mama selalu bisa menabung setiap bulannya. Selama ini aku selalu diam, tanpa komentar, menjalani tahun demi tahun, yang membuat hatiku teriris. Tapi kini aku sudah tidak tahan! Dan sepertinya, keraguanku mulai menemui titik pasti. Aku bukan anak kandung Mama!Tanpa pikir panjang lagi, aku melompati jendela kamarku dengan perlahan. Aku harus pergi saat ini juga. Biarkan Mama melewati hari ulang tahunku besok, tanpa aku. Mungkin ini adalah yang diinginkan Mama, aku pergi dari rumah. Aku tak ingin jadi beban lagi untuk Mama dan suaminya.Seadainya Papa masih ada, mungkin aku bisa sedikit mengadu padanya, tentang beban dan rasa sedih yang kurasa. Tapi Papa sudah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Sekarang aku bingung mau pergi kemana. Tapi sudahlah, yang terpenting aku keluar dari kehidupan Mama.Aku melangkah dan terus melangkah. Tak perduli betapa gelap dan dinginya udara malam. Tak perduli seribu pasang mata yang menatap heran. Persetan dengan semua itu. Aku tidak perduli!“Hallo gadis manis. Mau kemana malam-malam begini?” sapa salah seorang, dari empat pemuda berandalan, yang berpapasan denganku. Dari mulutnya tercium bau alkohol. Aku merasa bahaya mengancam jiwaku, sebagai seorang gadis. Aku harus menghindar, bila perlu berontak! Aku lalu meneruskan langkahku.


“Hey, nanti dulu. Mau abang temani enggak?” tanya berandal yang satunya lagi, sambil meraih tanganku.Namun segera saja kukibaskan tangan nakal itu, sambil berkata, “Enggak usah!”“Jangan sombong begitu, Neng! Kami tahu Neng kesepian. Ayolah, jangan malu-malu,” mereka terus menggodaku.Aku tak bisa terus melangkah karena mereka kini menghadangku. Bahkan dua dari mereka memegang erat tanganku. “Tidak! Tolong... tolong...!” aku berteriak sekeras mungkin sambil berusaha melepaskan diri. Namun mereka terlalu kuat untukku. Aku tidak bisa melepaskan diri. Tapi aku tidak mau menjadi korban kebrutalan para berandalan ini. “Ya Tuhan, tolong aku. Mama, tolong Ticha!” aku terus berteriak dan berontak. Tapi mereka semakin gila, seperti orang kesetanan.“Hai, sepertinya aku mengenal kamu, Manis? Kamu pasti Kartika! Ha... ha... ha... kebetulan sekali kita bertemu di sini Sudah lama aku mengincar keindahan tubuhmu,” ujar seorang pria yang berdiri di hadapanku, sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku. Dia hendak menciumku!Tanpa aku duga, dari arah samping, ada seseorang yang menonjok wajah pria yang hendak menciumku itu. Pergulatan sengit pun terus terjadi antar empat orang berandal dan seorang pria yang hendak menjadi pahlawan bagi diriku.Hey, sepertinya aku kenal orang itu! Yap, dia adalah Om Andre, Kakak Papaku. Tak lama kemudian beberapa warga datang karena mendengar teriakanku. Keempat berandalan itu pun dibawa aparat keamanan. Alhamdulillah, Allah masih melindungiku.

Om Andre kemudian mengajakku ke rumahnya. Kebetulan tadi dia baru saja pulang dari rumah Pak RT. Sesampainya di rumah Om Andre, Om mengintrogasiku secara halus, “Kenapa malam-malam begini kamu berada di luar rumah, Ticha?”Aku lalu menceritakan semuanya. Kesedihanku dan kekecewaanku pada Mama. Aku juga menceritakan tentang keyakinanku bahwa aku bukan anak kandung Mama.
“Ya Allah, Ticha. Istighfar, Sayang. Kamu enggak boleh bilang seperti itu,” tutur Om Andre.“Tapi, Om... buktinya sudah jelas. Di hari ulang tahun Riana, Mama selalu ingat dan selalu memberi hadiah. Tapi di hari ulang tahunku, Mama selalu lupa. Bahkan sengaja melupakannya!” aku tetap pada keyakinanku.“Sayang, kalau hanya masalah hari ulang tahun, belum membuktikan bahwa kamu bukan anak Mamamu. Om yakin, Mamamu punya alasan yang masuk akal kenapa enggak pernah merayakan ulang tahunmu. Sudahlah, sekarang sudah larut malam. untuk malam ini kamu tidur di rumah Om. Biar besok, kita selesaikan masalah ini bersama Mamamu.”Om Andre mengantarku ke kamar tamu, tempatku istirahat malam ini. Namun aku tidak bisa langsung terlelap. Aku masih ragu pada Mama dan kejadian di jalan tadi membuat aku merinding.


Seandainya tadi enggak ada Om Andre, mungkin masa depanku sudah hancur di tangan empat pemuda berandalan itu.“Happy birthday to you... Happy Birthday to you... Happy Birthday... Happy Birthday... Happy Birthday to you....” Tante Sindy menyanyikan sebuah lagu untuk membangunkan aku.Aku bahagia sekali. Aku sayang Tante Sindi dan aku merasa Tante Sindy juga sangat menyayangi aku. Tante Sindy sudah menganggap aku seperti anaknya sendiri. Maklumlah, sudah sembilan belas tahun berumah tangga dengan Om Andre, Tante Sindy belum juga memiliki buah hati.Setelah mandi dan berpakaian, aku kemudian membantu Tante Sindy, menyiapkan sarapan di dapur.“Tiche...” terdengar suara Om Andre memanggilku, dari belakang.“Ya, Om. Ada apa?” sahutku.“Ikut Om sebentar ke depan.”Kutinggalkan Tante yang masih sibuk di dapur. Dan kuikuti langkah Om Andre.“Mama?!” aku tersentak kaget saat kulihat Mama sedang duduk di sofa, ruang tamu.
“Iya, Sayang. Mama tahu kamu ada di sini, tadi pagi Om Andre menelpon ke rumah, memberi tahu keadaanmu.” Aku masih berdiri dengan kepala tertunduk. Hawa panas masih menjalari hatiku. Keraguan, kemarahan, dan kekecewaanku pada Mama belum juga menghilang. Mama menghampiriku. “Maafkan Mama, Ticha,” ucapnya sambil memelukku. Aku tetap tak berkata apa-apa. Mama menuntunku duduk di sofa. Aku tetap mematung, tak beranjak. Om Andre dan Tante Sindy membujukku untuk duduk di samping Mama. Aku menuruti permintaan mereka, karena aku masih menghormati Om Andre dan Tante Sindy. Mereka pun kemudian ikut bergabung bersama kami. Rupanya Om Andre sudah menceritakan semua yang terjadi tadi malam dan pengaduanku padanya, sehingga Mama berkata, “Mama minta maaf, Sayang. Kalau selama ini kamu memendam kesedihan yang mendalam karena Mama tak pernah mengijinkan ulang tahunmu dirayakan.”“Bukan hanya itu, Ma. Mama enggak pernah ingat hari ulang tahunku!” kemarahanku memuncak.“Mama tahu, Ticha. Karena Mama memang enggak mau mengingatnya.”“Kenapa, Ma? Mama jahat. Mama selalu ingat hari ulang tahun Riana. Tapi ulang tahun Ticha, Mama enggak pernah ingat, bahkan enggak mau mengingatnya!” hatiku semakin pedih. “Karena dihari ulang tahunmu, Papamu meninggal, Ticha!” Mama tak bisa menahan emosinya.Deg! Jantungku serasa berhenti, mendengar apa yang baru saja Mama ucapkan.“Pagi itu, Mama sudah memasak masakan istimewa untuk merayakan ulang tahunmu yang kedua. Sebelumnya, Papamu sudah menelpon dan bilang kalau Papa akan pulang jam dua belas siang. Mama ingat, waktu itu jam sepuluh semua sudah siap. Meja makan sudah tertata rapi, dan kau sudah Mama dandani, cantik sekali. Mama pun tak kalah berdandan untuk menyambut Papamu.” Mama kemudian berhenti sejenak. Matanya menerawang jauh.“Terus, Ma?” aku semakin penasaran ingin tahu kelanjutan kisahnya.“Saat itu, Mama merasa sudah enggak sabar menunggu Papamu. Apalagi melihatmu gelisah. Kamu seperti enggak mau berlama-lama berada dalam ketegangan. Sampai jam dua belas, Papamu belum datang juga. Tiba-tiba ada seseorang yang mengucapkan salam dari balik pintu. Mama pikir itu Papamu. Mama langsung membukakan pintu sambil menggendongmu.


Ternyata yang datang adalah seorang anggota polisi yang mengabarkan bahwa bus yang ditumpangi Papamu mengalami kecelakaan.” Mama menghentikan ceritanya. Tangisnya pecah.“Mama bohong! Mama pasti bohong. Itu enggak benar kan, Ma?!” aku tak sanggup mendengar kebenaran cerita itu.“Ticha, itu semua enggak bohong. Itu semua benar. Mamamu sengaja enggak mau merayakan ulang tahunmu, karena kalau dia merayakannya, sama artinya dengan merayakan kepergian almarhum Papamu. Dan Mamamu sengaja melupakan ulang tahunmu, karena Mamamu enggak mau mengingat sebuah hari, di mana ia kehilangan seseorang yang sangat dicintainya,” ucap Om Andre, sambil memelukku untuk menenangkan aku yang sudah tak bisa terkendali.“Ticha, tenang, Sayang,” hibur Tante Sindy.Selama beberapa menit aku terus berteriak dan berontak dari pelukan Om Andre. Aku tidak ingin meyakini kebenaran itu.“Om, katakan kalau semua ini enggak benar,” pintaku, lemas.“Maafkan Om, Ticha. Semua yang dikatakan Mamamu adalah benar.”“Mama sangat takut kehilanganmu. Begitu tahu kamu pergi dari rumah, Sayang,” ucap Mama, pilu.“Maafin Ticha, Ma. Ticha janji enggak akan ninggalin Mama lagi. Tapi Ticha anak Mama kan?” tanyaku ragu.“Iya, tentu sayang.


Ticha anak Mama.”Oh... Mama. Sebenarnya keberadaan Mama tak tergantikan oleh hadiah apapun di hari ulang tahunku. Biarlah hari ulang tahunku menjadi ulang tahun yang terlupakan, asalkan tak ada kesedihan di hati Mama. Aku tak ingin melihat Mama sedih lagi. Karena aku sangat menyayangi Mama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KLIKPTC

KLIKAJADEH

Program Bisnis